Selasa, 19 Juli 2011

Masyarakat Sebujit Jangan Lupakan Adat Istiadat





Bengkayang. Perayaan Gawai Nyobeng 2011 berlangsung sederhana tetapimeriah. Walaupun tamu dan para  undangan tidak seramai tahun lalu tetapi upacara adat berlangsung hikmat dan sukses. Nimitch selaku Kapolres Bengkayang berpesan kepada warga Sebujit untuk tidak melupakan adat istiadat yang merupakan warisan dari nenek moyang.
Kapolres Bengkayang, AKBP Mosyan Nimitch SIK mengungkapkan, dirinya sudah dua tahun berturut-turut sejak 2010 lalu datang ke kampung Sebujit untuk merayakan gawai Nyobeng. Walaupun akses menuju Sebujit harus menaiki perahu dan berjalan kaki dengan menyisiri sungai baru sampai di tempat tujuan.
“Dengan diadakan gawai Nyobeng ini, masyarakat Sebujit tidak melupakan adat istiadat yang merupakan warisan dari nenek moyang. Karena adat dan budaya adalah cerminan jati diri kita,” terang Nimitch ditemui di Rumah Adat Balug Sebujit saat perayaan Nyobeng, belum lama ini.
Anggota DPRD Bengkayang , Gunawan mengatakan, Gawai Nyobeng merupakan sebuah ritual memandikan atau membersihkan tengkorak manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh khususnya di Sebujit Desa Hlibuei Kecamatan Siding.
“Sekarang tradisi mengayau sudah tak dilakukan lagi. Upacara mencucikan tengkorak yang tersimpan dalam rumah adat. Sesuai aturan yang dipercaya secara turun temurun,” terang Legislator Partai Demokrat asal Sebujit ini ditemui dirumah orang tuanya, belum lama ini.
Gunawan menjelaskan, acara ini dilakukan setiap tahunnya dari tanggal 15 hingga 17 Juni. Kegiatan utamanya yakni, memandikan tengkorak. Dimulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya, ini dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambut, mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang.
“Tahun depan, tepatnya 15-17 Juni 2012 di Sebujit menjadi tuan rumah Gawai Nyobeng dan akan dilakukan besar-besaran. Karena tahun ini (2011, Red) dilakukan di Malaysia. Dari Sebujit mengirimkan 14 orang ke sana dengan berjalan kaki,” beber Gunawan.
Dari pantauan awak koran ini dilapangan, ketika para tamu undangan hendak memasuki batas desa. Sumpit juga diacungkan bersamaan. Letupan dari senapan lantak tersebut, juga berguna memanggil ruh leluhur sekaligus minta izin bagi pelaksanaan ritual Nyobeng.
Kemudian, tetua adat melempar anjing ke udara. Dengan mandau, pihak ketua tamu rombongan harus menebasnya. Jika masih hidup, harus dipotong dengan mandau begitu jatuh ke tanah. Prosesi yang sama juga berlaku untuk ayam.
Setelah itu, tetua adat melempar telur ayam kepada rombongan tamu. Jika telur tak pecah, maka tamu yang datang dianggap tidak tulus. Sebaliknya, jika pecah, berarti tamu datang dengan ikhlas. Kegiatan selanjutnya, beras putih dan kuning dilempar sambil membaca mantra.
Para gadis lalu menyuguhkan tuak dari pohon niru yang dicampur kulit pohon pakak yang telah dikeringkan. Usai minum, rombongan tamu diantar menuju Rumah Balug, di tengah perkampungan.
Rumah Balug merupakan rumah adat yang berupa rumah panggung dan berbentuk bulat. Untuk memasuki rumah ini, dibuatkan undakan yang terbuat dari bilah pohon. Lebarnya sekira 10 meter dengan tinggi 15 meter dari tanah.
Saat masuk tempat upacara, rombongan diberi percikan air yang telah diberi mantra dengan daun anjuang, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tujuannya, agar para tamu terhindar bencana. Ketika memasuki area upacara, para tamu harus menginjak buah kundur yang diletakkan dalam baskom yang lebih dikenal dengan ritual pepasan.
Bersama warga, para tamu kemudian menari tari Mamiamis sambil mengitari rumah adat. Mamiamis, adalah tarian untuk menyambut dan menghormati para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau. Sambil diiringi Tetua adat dengan menyanyikan lagu dan membaca mantra-mantra.
Tetua adat naik Rumah Balug. Simlog pun dipukul dan mercon dibunyikan. Tujuannya untuk memanggil arwah leluhur dan juga sebagai tanda dimulainya Upacara Nyobeng. Dilanjutkan dengan makan bersama di Rumah Balug. Lauknya, nasi dengan ikan babi. Toleransi juga tinggi. Bagi muslim, disediakan makanan khusus bukan babi. Habis makan, tamu boleh meninggalkan area rumah adat.
Pilihannya bisa istirahat di rumah penduduk. Saat istirahat, sebagian laki-laki di daerah tersebut menyusuri hutan untuk mencari bambu hutan. Diameternya sekitar sepuluhan centimeter.
Saat bersamaan, setiap rumah membuat sesajian yang dioles dengan darah dari sayap ayam. Darah ayam ini juga dipercikkan ke bagian-bagian rumah dan pekarangan yang dianggap sakral.
Setelah itu para keluarga dan para tamu kembali menuju rumah adat. Setelah dapat bambu hutan yang dicari, para pria itu menggotongnya menuju ke rumah adat secara beramai-ramai. Dengan memegang mandau bambu dikitari sambil berbaris.
Mandau yang dibawa merupakan pusaka keluarga. Hiasan pada gagang mandau dibuat dari tulang atau kayu. Hiasan itu juga sebagai lambang makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau dalam mengayau. Persiapan matang. Ketua adat memberi isyarat memulai kegiatan. Salah seorang maju ke depan sambil membuka mandau dari sarung sambil menebas mandau ke batang bambu.
Dalam sekali tebas, bambu putus. Keberhasilan ini, merupakan pertanda baik, menurut kepercayaan masyarakat. Usai sudah acara potong bambu. Ruh pun dipanggil oleh ketua adat.
Tujuannya untuk menghadirkan dan memohon ijin yang telah melindungi untuk memulai Nyobeng.
Tetua adat kemudian, menaiki rumah panggung. Tujuh macam sesajian diletakkan di batas desa nantinya. Kemudian, kotak yang berada di bubungan rumah adat yang di dalamnya tersimpan tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan, diambil oleh tetua adat dan melumuri tangannya dengan ramuan khusus.
Lalu dioleskannya pada tengkorak yang ada di dalam kotak. Berikutnya ketua adat memotong seekor ayam hinga kepalanya putus. Kepala dan tetesan darah ayam tersebut dioleskan pada tengkorak. Tengkorak dimasukkan lagi pada kotak dan disimpan. Acara dilanjutkan dengan memotong anjing.
Darah yang keluar diusapkan pada tiang penyangga rumah adat, rumah-rumahan kecil, dan patung laki-laki dan perempuan yang berada di samping rumah adat dan patung. Rumah-rumahan dan patung-patung tersebut dianggap sebagai asal-usul nenek moyang mereka. Pemotongan anjing dimaksudkan untuk menolak ruh jahat. Sebagian daging anjing yang baru dipotong kemudian dibawa ke atas rumah adat. (cah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar