Bengkayang.
Desa Semunying Jaya merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Jagoi
Babang. Desa ini memiliki 100 kepala keluarga dan 337 jiwa. Selama 66 tahun
Indoensia merdeka, masyarakat Semunying Jaya yang nota bene sebagai daerah
perbatasan Indoensia-Malaysia merasa di anak tirikan oleh pemerintah.
Momondus, Kepala Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi
Babang mengatakan, selama ini baik itu pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat
hanya memperhatikan ibu kota kecamatan saja sedangkan desa yang lain tidak
diperhatinkan padahal daerahnya juga berbatasan dengan Negara tetangga.
“Sampai saat ini di desa kami hanya memiliki satu sekolah
dasar negeri sedangkan SMP dan SMA tidak ada. Rata-rata masyarakat kami tamatan
SD dan ada yang tidak tamat dikarenakan untuk kejenjang yang lebih tinggi harus
keluar kecamatan seperti di Seluas dan ibu kota kecamatan,” keluh Momonus
kepada Equator ditemui di Hotel Lintas Batas Bengkayang, Jumat (27/1).
Ia mengungkapkan, minimnya sarana pendidikan ditunjang
dengan kurangnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah, baik itu
kabupaten, provinsi dan pusat. Ia mengakui diwilayah kerjanya memiliki satu
Puskesmas Pembantu tetapi hingga saat ini sudah beberap bulan petugasnya cuti
melahirkan tidak kunujung memberikan pelayan kesehatan.
Apabila ada yang sakit, warganya harus berobat di
Puskesmas Seluas yang jarak tempuhnya sangat jauh yakni kurang lebih 30
kilometer melalui jalan darat. Apabila melalui jalur sungai, untuk pulang pergi
dari Semunying Jaya sampai ke Seluas harus meronggoh saku sebesar setengah juta
rupiah.
Abu Lipak, Sekretaris Desa Semunying Jaya menambahkan,
mayoritas mata pencarian warganya ialah bertani. Ada yang berladang, bersawah,
noreh karet, dan bercocok tanam lainnya seperti menanam sayur-mayur.
“Setelah PT Ledo Lestari menggarap lahan di HUtan Adat
Semunying Kolam, lahan sawah kami tidak dapat digarap dikarenakan tanahnya
kering dan pasokan air selama ini menjadi andalan kami untuk mengairi sawah
telah dibendung oleh perusahaan tersebut,” beber Abu, kemarin.
Ia menjelaskan, sungai Kumba yang selama ini menjadi
andalan untuk mengairi sawah mereka telah dibendung oleh pihak perusahaan
perkebunana sawit. Akhirnya sawah kami hancur, untuk menanam padi kami memilih
untuk berladang.
“KAmi warga perbatasan tetapi sedikit pun tidak
diperhatikan oleh pemerintah. Walau sudah 66 tahun Indonesia merdeka, kami
masih belum merdeka. Hingga saat ini untuk penerangan masih menggunakan lampu
pelita, dan jakses jalan darat masih jalan tikus,” ungkapnya. (cah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar