Selasa, 07 Februari 2012

Warga Semunying Jaya Di Anak Tirikan Pemerintah


Bengkayang. Desa Semunying Jaya merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Jagoi Babang. Desa ini memiliki 100 kepala keluarga dan 337 jiwa. Selama 66 tahun Indoensia merdeka, masyarakat Semunying Jaya yang nota bene sebagai daerah perbatasan Indoensia-Malaysia merasa di anak tirikan oleh pemerintah.
Momondus, Kepala Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang mengatakan, selama ini baik itu pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat hanya memperhatikan ibu kota kecamatan saja sedangkan desa yang lain tidak diperhatinkan padahal daerahnya juga berbatasan dengan Negara tetangga.
“Sampai saat ini di desa kami hanya memiliki satu sekolah dasar negeri sedangkan SMP dan SMA tidak ada. Rata-rata masyarakat kami tamatan SD dan ada yang tidak tamat dikarenakan untuk kejenjang yang lebih tinggi harus keluar kecamatan seperti di Seluas dan ibu kota kecamatan,” keluh Momonus kepada Equator ditemui di Hotel Lintas Batas Bengkayang, Jumat (27/1).
Ia mengungkapkan, minimnya sarana pendidikan ditunjang dengan kurangnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah, baik itu kabupaten, provinsi dan pusat. Ia mengakui diwilayah kerjanya memiliki satu Puskesmas Pembantu tetapi hingga saat ini sudah beberap bulan petugasnya cuti melahirkan tidak kunujung memberikan pelayan kesehatan.
Apabila ada yang sakit, warganya harus berobat di Puskesmas Seluas yang jarak tempuhnya sangat jauh yakni kurang lebih 30 kilometer melalui jalan darat. Apabila melalui jalur sungai, untuk pulang pergi dari Semunying Jaya sampai ke Seluas harus meronggoh saku sebesar setengah juta rupiah.
Abu Lipak, Sekretaris Desa Semunying Jaya menambahkan, mayoritas mata pencarian warganya ialah bertani. Ada yang berladang, bersawah, noreh karet, dan bercocok tanam lainnya seperti menanam sayur-mayur.
“Setelah PT Ledo Lestari menggarap lahan di HUtan Adat Semunying Kolam, lahan sawah kami tidak dapat digarap dikarenakan tanahnya kering dan pasokan air selama ini menjadi andalan kami untuk mengairi sawah telah dibendung oleh perusahaan tersebut,” beber Abu, kemarin.
Ia menjelaskan, sungai Kumba yang selama ini menjadi andalan untuk mengairi sawah mereka telah dibendung oleh pihak perusahaan perkebunana sawit. Akhirnya sawah kami hancur, untuk menanam padi kami memilih untuk berladang.
“KAmi warga perbatasan tetapi sedikit pun tidak diperhatikan oleh pemerintah. Walau sudah 66 tahun Indonesia merdeka, kami masih belum merdeka. Hingga saat ini untuk penerangan masih menggunakan lampu pelita, dan jakses jalan darat masih jalan tikus,” ungkapnya. (cah)
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar